Corona: Pemimpin yang Berbohong

Pemimpin yang Berbohong
img src: hidayatullah.com

Okeh, kali ini keresahannya agak serius ya sepertinya, membahas perilaku pemimpin yang berbohong. Kita sudah dicekokin pelajaran agama dan PMP a.k.a PPKn a.k.a PKn tentang perilaku baik atau terpuji dan perilaku buruk atau tercela.

Bohong adalah salah satu perilaku buruk. Berbohong itu mengumbar bau busuk, karena sekali berbohong maka akan timbul kebohongan selanjutnya. Aman setelah pertama kali bohong, maka kita akan coba berbohong untuk yang kedua kalinya. Masih aman, kita berani berbohong ketiga kalinya biasanya semata-mata menutupi kebohongan pertama dan kedua.

Berbohong adalah perbuatan dosa, begitulah kata agama melalui mulut para guru, ulama, dan kyai. Berbohong juga tidak menggambarkan warga negara yang Pancasila-is. Karena tak mungkin manusia yang percaya Tuhan Yang Maha Satu berani untuk berbuat bohong. Berbohong adalah tanda orang munafik selain berkhianat, dan ingkar janji.

Ketiga sifat tanda orang munafik ini sangat akrab jika disangkutpautkan dengan kepemimpinan seseorang terhadap suatu kelompok bangsa. Bagaimana tidak hampir semua pemimpin (dulu saat masih calon) berani berjanji walau banyaknya malah diingkari, berani berkhianat setelah diberi amanat, dan berani berbohong setelah diberi kesempatan bicara.

Baiklah urusan dosa bohong ditanggung sendiri di akhirat kelak, tapi ada urusan lain masalah keduniawian sekelompok bangsa yang dipimpin haruslah dilaksanakan sebagaimana mestinya dengan perilaku jujur.

Seperti yang sudah saya tulis sebelumnya dalam judul "Semua Tunduk pada Corona" bahwa jika dijelaskan secara ringkas para pemimpin rela menggadaikan nilai kejujuran hanya karena takut. Bukan takut mati, tapi takut dicap pemimpin kawe, tidak berpengalaman, tercemar harga diri, dan lain sebagainya yang sifatnya hanya prestige buat dirinya sendiri.

Pemimpin tertinggi negara sepertinya sempat berbohong bahwa negara MAJU yang sebelumnya berflower ini bebas Corona. Mereka juga berbohong tentang Corona itu sendiri, telihat bego walau sudah tahu.

Lebih banyak acara seremoni dibanding langkah kongkrit dalam menanggulangi wabah. Pimpinan sama anak buah nggak ada bedanya. Terlalu banyak penampilan kaku yang sulit dimengerti masyarakat kelas miskin. Informasi disampaikan tidak jelas, mengutamakan himbauan daripada menegakkan aturan.

Mengobral janji pada masyarakat yang terdampak kebijakan kagetan. Relaksasi angsuran kredit bahkan listrik gratis adalah contoh dimana yang ditelan masyarakat berbeda dengan yang diteken penguasa. Karena tak semua masyarakat cari tahu informasi detailnya. Yang mereka tahu, sabda pemimpin adalah fatwa. Ucapan pemimpin adalah peraturan.

Jumlah orang yang terinfeksi pun diragukan validitasnya oleh banyak orang. Realitanya bisa jadi ribuan orang sudah kena dari awal Maret bukan cuma 2 orang yang diumumkan langsung oleh Pak Pres.

Baiklah kembali pada perilaku bohong. Konon katanya, diperbolehkan berbohong (bahkan oleh agama) jika dirasa memberikan kemashlahatan atau keselamatan jiwa seseorang. Nah mungkin ini prinsip yang dianut para pemimpin kita itu.

Lebih baik berbohong negaranya bebas Corona dibanding chaos (bukan saos) di tingkat antar sesama warga negara. Lebih baik berbohong di daerahnya zona aman daripada reputasi terkait penanganan dan fasilitas kesehatan terungkap boroknya. Terlebih para pemimpin tak mau terlihat buruk dimata sesamanya.

Pemimpin negara ini merasa percaya diri saat kepala-kepala negara di dunia tahu Indonesia bebas Corona. Pemimpin daerah bisa mengangkat dagu di depan kepala daerah lain terkait jumlah pasien Corona.

Pemimpin salah satu Kabupaten di Indonesia mengancam pemecatan bagi pegawai di dinas kesehatan, pemecatan bagi direktur rumah sakit, dan mengancam 'diacak-acak' bagi siapapun yang menyebarkan info daerah tersebut sudah tersebar Corona.

Pasien yang satu minggu lalu sudah diisolasi di rumah sakit ternyata positif Corona a.k.a Covid-19. Konon, pasien berjenis kelamin perempuan hampir separuh baya itu adalah seorang asisten rumah tangga yang bekerja pada majikan warga negara asing (WNA) dari Korea.

Tak ada pemberitaan satu pun di media kabar lokal. Ancaman solidaritas dan kecintaan pada daerah kelahiran adalah senjata utama. "Kalau kalian cinta daerah ini, jangan sampai ada yang tahu (media atau pemerintah pusat) bahwa di tempat kita sudah ada yang positif Corona". Begitulah mungkin kalimat yang bisa terbayang.

Kemudian sang pemimpin berbohong di depan kamera, 360° berbeda dengan realita sebenarnya. Daerahnya bebas virus Corona. Tujuannya supaya masyarakat tak panik dan mencegah gesekan konflik karena strata ekonomi kaya dan miskin.

Kalau dipikir-pikir bohongnya pemimpin-pemimpin ini tidak 'menyelamatkan' jiwa siapa pun. Sebaliknya malah jika kebenaran ditutupi, maka jiwa rakyatnya yang akan sakit. Kekhawatiran yang berkepanjangan , usaha terhambat, pendidikan tak jalan, dan sebagainya. Kesehatan jiwa warga lebih penting. Namun sepertinya inilah bohong pertama yang aman, sebelum ada kebohongan-kebohongan berikutnya.

Post a Comment

0 Comments