![]() |
img src: kompas.com |
Virus Corona atau dinamai Corona Virus Desease 2019 (disingkat Covid-19) yang sudah menyebar sejak akhir tahun lalu hingga saat ini memaksa aksi dan reaksi manusia berubah dalam kehidupan sehari-hari.
Aksi yang saya maksud adalah gaya dan pola hidup sehat yang mau tak mau tadinya tidak pernah dilakukan menjadi sebuah kewajiban. Yang tadinya diabaikan, sekarang jadi hal utama pencegahan.
Lihatlah kampanye mencuci tangan, yang mungkin sebelumnya mencuci tangan dilakukan hanya saat mau makan. Itu pun kalau makannya tidak pakai sendok, iyaa kann!? Lihat juga upaya resik lain selain cuci tangan, yaitu menggunakan sanitizer setelah berinteraksi dengan orang maupun benda di ruang publik. Meskipun konon menggunakan sanitizer itu tak ada gunanya, karena karena yang dibunuh itu bakteri bukan virus.
Berkurangnya aktivitas warga bepergian memberikan dampak positif bagi tingkat polusi emisi kendaraan bermotor. Ya harus diakui, di balik semua ini, wabah atau bencana yang bisa mengatasi macetnya kota ketan macam Jakarta. Tak perlu jadi presiden, tak perlu ibukota negara dipindahkan, cukup tebar terror virus/wabah semua kelar.
Kalimat terakhir hanya sebuah jokes yang menandakan betapa sulitnya mengatur kebiasaan dan kesadaran orang banyak. Demi kenyamanan rela macet-macetan. Demi tidak kepanasan, peduli setan dengan polusi udaran dan kondisi alam.
Walau macetnya Jakarta akan kembali setelah wabah pergi, paling tidak sedikit banyaknya Corona mempengaruhi pikiran dan perilaku kehidupan sehari-hari dari sisi yang positif.
Sisi negatifnya, Corona ibarat teror yang mengganggu pikiran orang. Yang ketakutan orang tersebut semakin bertambah dengan adanya kebijakan kagetan, informasi yang sebagian-sebagian, dan kesiapan dari pemerintah dalam menangani wabah.
Corona juga mengkikis empati hampir setiap orang menjadi sebuah reaksi yang berlebihan. Kewaspadaan yang akut sehingga mengabaikan orang yang butuh pertolongan.
Coba kamu bersin atau batuk di tempat umum, rekasi negatif akan orang lain tampakkan. Bersin sekali dikira Corona. Batuk-batuk gatal tenggorokan karena keselek tulang dianggap terpapar Corona. Pasti orang di dekatmu menjauh, ya kan?
Hmmm....
Sebagian dari kita lupa kebiasaan mendoakan orang yang berisn misalnya. Bukan doa yang keluar malah kalimat umpama, "iiih....viruss!". Reaksi berlebihan pada kondisi biasa-biasa saja. Kecuali mungkin orang tersebut memiliki gejala lengkap terkena wabah, itu beda ceritanya.
Yang paling mengenaskan adalah jika ada orang yang tiba-tiba sakit di tempat publik. Lihatlah berita di televisi bagaimana orang sakit tergeletak di pinggir jalan dibiarkan. Ketakutan berlebihan yang bisa menyebabkan kematian orang tersebut. Wajar sih, tapi kan....
Reaksi berlebihan juga sangat terlihat saat kasus pertama wabah ini diumumkan. Panic buying yang paling menyeramkan, orang-orang kaya yang takut langsung memborong masker, hand sanitizer, sembako, dan semua yang dibutuhkan jika kebijakan lockdown dilakukan.
Edisi aji mumpung pun dilakukan mereka yang miskin hati, menjual masker yang tadinya cuma puluhan ribu jadi ratusan ribu sampai jutaan rupiah.
Takut boleh, karena itu manusiawi tapi jangan berlebihan karena reaksi berlebihan itu bisa mengganggu pikiran.
0 Comments