Cara Suku Baduy Menghadapi Kekeringan dalam Pertanian

Cara Suku Baduy Menghadapi Kekeringan dalam Pertanian

Komunitas Baduy, yang bermukim di kawasan hutan di Desa Kanekes, Kecamatan Leuwidamar, Kabupaten Lebak, Provinsi Banten hingga dewasa ini masih tetap kokoh mempertahankan sistem pertanian ladang berpindah (huma). Padahal di daerah-daerah lain di Pulau Jawa, sistem pertanian ladang telah lama punah karena berbagai faktor. Misalnya, karena desakan kebijakan pemerintah yang melarang usaha tani ladang yang dianggap merusak lingkungan, jumlah penduduk yang kian padat, perkembangan sosial ekonomi yang cepat, dan luas lahan hutan yang makin berkurang.

Cara Suku Baduy Menghadapi Kekeringan

Penduduk Baduy di dalam bercocok tanam masih teguh berladang secara adat, oleh karena itu mereka memiliki hubungan timbal-balik yang sangat erat dengan lingkungannya. Mereka juga memiliki berbagai kearifan ekologis dalam menggarap ladang tersebut.

Menurut penelitian, peladang tradisional secara adat pada umumnya memiliki pengetahuan lokal tentang kondisi lingkungan hidupnya secara rinci dan kaya. Bukan hanya pengetahuan lokal atau etnosains tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip ilmiah, tetapi lebih kaya dalam hal terakumulasinya pengalaman-pengalaman setempat yang unik. Pengetahuan lokal memiliki kemampuan yang lebih baik dari pengetahuan ilmiah bila digunakan untuk menilai faktor-faktor resiko yang menyangkut keputusan-keputusan produksi.

Baca: Pengobatan Herbal Alami Ala Suku Baduy

Pengetahuan lokal yang digunakan warga Suku Baduy teraplikasi dalam menyusun kalender pertanian tradisional mereka untuk kegiatan berladang, dengan memanfaatkan berbagai indikator alam, sehingga mereka mampu mengelola ladang secara tradisional Komunitas Baduy sejak ribuan tahun lalu hingga dewasa ini, di dalam mengerjakan daur tahapan-tahapan berladang, senantiasa menggunakan kalender tradisional.

Penanggalan (Kalender) Pertanian Suku Baduy

Penanggalan kalender pertanian tradisional tersebut disusun antara lain berdasarkan pedoman pada perputaran rasi bintang, matahari, masa berbunga atau berbuah jenis-jenis tumbuhan tertentu, dan kehadiran suatu jenis serangga khusus. Selain itu, faktor penentu lainnya, dan bahkan paling menentukan di dalam penanggalan kalender tersebut, adalah variasi waktu panen huma serang. Huma serang adalah ladang sakral milik bersama masyarakat Baduy, yang berada di Baduy dalam, Kampung Cibeo, Cikartawarna, dan Cikeusik.

Lihat foto: Urang Cibeo Portraits

Dua rasi bintang yang biasa digunakan sebagai pedoman menyusun kalender pertanian Baduy, yaitu bentang kidang (the belt of orion) dan bentang kartika, bentang kerti atau gumarang (the pleiades). Dua rasi bintang tersebut biasanya bergerak di angkasa dari timur ke barat. Bentang kidang biasanya muncul dua minggu lebih awal dari bentang kartika. Beberapa posisi penting rasi bentang kidang biasanya dijadikan pedoman dalam menentukan tahapan-tahapan berladang. Posisi-posisi rasi bintang tersebut, telah dituangkan dalam berbagai ungkapan populer komunitas Baduy, seperti:

  • Tanggal kidang turun kujang

Ketika bentang kidang mulai menampakan, harus siap-siap menggunakan kujang untuk membuka hutan (nyacar).

  • Kidang ngarangsang kudu ngahuru

Ketika bentang kidang menampakan ngarangsang (seperti posisi matahari jam 8.00-10.00 pagi), maka harus membakar sisa-sisa tebangan (ngahuru).

  • Kidang nyuhun atawa condong

Ketika bentang kidang menampakan di atas kepala atau sudah ka barat kudu ngaseukmiring ke barat, harus tanaman padi (ngaseuk).

  • Kidang marem turun kungkang

Ketika bentang kidang sudah tidak menampakan lagi di alam, ulah melak pare jangan tanam padi lagi, karena banyak serangga (kungkang).

Lihat foto: Baduy People Potraits 

Berdasarkan pedoman dari posisi rasi bintang di alam, maka pada setiap tahun kemunculan bentang kidang dan bentang kartika dijadikan indikasi oleh penduduk Baduy untuk segera menyiapkan ladang, yaitu mulai membuka lahan hutan (nyacar). Pada saat itu menurut beberapa informan, tanah dianggap mulai dingin (tiis), karena posisi matahari sedang di utara. Namun, sebaliknya ketika bentang telah hilang (marem) di barat, biasanya dalam setahun tidak muncul kira-kira 3 bulan, penduduk Baduy harus berhenti tanam padi. Karena saat itu tanah dianggap panas dan banyak serangga (kungkang) datang ke buana tengah.

Beberapa tumbuhan di ladang biasa pula dijadikan indikator dalam penanggalan kalender tradisional Baduy. Misalnya:

  • Apabila buah-buah kanyere (Bridelia monoica) telah matang, biasanya bertepatan dengan kemunculan bentang kerti atau pertanda saatnya musim kemarau.
  • Masa berbunga tumbuhan gaharu (Gonystyllus macrophyllus), biasanya menandakan tibanya musim keamarau.
  • Apabila masa berbunga jampang kidang (Centhoteca lappacea), jampang kerti (Centhoteca sp), dan berbunga serta berbuah kanyere (Bridelia monoica), biasanya bersamaan dengan mulai kenampakan bentang kidang.

Hal ini sebagai pertanda harus segera membuka lahan untuk berladang. Selain itu, kehadiran laba-laba kidang (lancah kidang) di tanah juga biasa dimanfaatkan sebagai indikator waktunya tanam padi (ngaseuk) di Baduy.

Lihat foto: Momen Seba Baduy 2018

Lancah kidang biasana aya dina taneuh, ngarambat kana jukut. Lamun, ramat lancah bolong tengahna, biasana lancahna aya di sisi. Pertanda waktuna kudu ngaseuk di huma (Labah-labah kidang biasanya ada di tanah, menempelkan sarang di rumput. Apabila sarang laba-laba kidang sudah bolong tengah, dan biasanya labah labahnya tinggal di pinggir sarang. Ini dapat dijadikan pertanda bahwa tanah padi (ngaseuk) harus segera dimulai).

Kendati demikian faktor yang lebih penting dalam menentukan awal tahun kalender pertanian Baduy dipengaruhi oleh variasi waktu panen ladang sakral (huma serang) di Baduy Dalam. Karena, hasil panen padi huma serang tersebut biasanya digunakan untuk keperluan beberapa upacara adat, yaitu upacara paling awal, upacara kawalu kahiji (kawalu pertama). Upacara kawalu tersebut diselenggarakan di Baduy Dalam, merupakan suatu persembahan pada leluhur, sebagai ucapan terima kasih bahwa penduduk Baduy telah diberi hasil padi. Hasil panen padi dari huma serang tersebut juga digunakan untuk upacara lainnya, yaitu ngalaksa dan seba.

Lihat foto: Dokumentasi Seba 2019

Upacara ngalaksa, seperti halnya upacara kawalu, yaitu memberi persembahan sesajen pada leluhur Baduy. Namun, upacara ngalaksa tersebut tidak hanya diselenggarakan di Baduy Dalam, tetapi harus dilakukan pula di Baduy Luar. Setiap keluarga diwajibkan mengikuti upacara ngalaksa, yaitu setiap masing-masing perwakilan keluarga harus membawa beras hasil panen dari pungpuhunan (bagian sakral di tengah-tengah ladang). Di Baduy Dalam, upacara tersebut dipimpin oleh pimpinan adat (Puun), sedangkan di Baduy Luar dipimpin oleh para staf adat (Jaro Dangka), di 7 kampung dangka.

Biasanya seusai upacara ngalaksa, pada bulan berikutnya dilakukan upacara seba, yaitu melakukan persembahan ke bupati di Rangkasbitung dan gubernur di Serang, dengan membawa berbagai hasil pertanian, seperti beras, gula aren, dan umbiumbian. Pada kondisi iklim normal, awal tahun kalender pertanian Baduy, yaitu bulan Sapar, biasanya bertepatan dengan Rajab-Ruwah bulan Islam dan April-Mei bulan masehi. Pada bulan itu, semua padi ladang, yaitu padi di huma serang, huma puun, dan huma masyarakat telah selesai dipanen.

Namun, apabila terjadi kondisi iklim yang tidak normal, seperti terjadi kekeringan, dan menjadi gangguan terhadap padi huma serang, maka penetapan tahun baru (tunggul tahun) kalender Baduy, bulan Sapar yang biasanya bertepatan dengan April Mei bergeser menjadi mundur. Misalnya, kasus terjadinya kekeringan pada musim tanam 1994/1995 dan 1997/1997, seyogianya dalam kondisi normal, huma serang dipanen pada bulan Kasa (Januari-Pebruari). Namun, akibat bencana kekeringan, panen huma serang jatuh pada bulan Katiga (Maret-April).

Baca: Baduy Sebetulnya Sudah Islam....

Akibatnya, penyelenggaraan upacara kawalu pertama dilakukan tidak pada bulan yang seharusnya bulan Kasa (Januari-Pebruari), melainkan bergeser pada bulan yang seharusnya Katiga (Maret-April). Demikian pula, waktu uparara kawalu kedua, kawalu ketiga, ngalaksa, dan seba menjadi mundur. Kendati demikian, pada bulan-bulan berikutnya, kalender Baduy tersebut pada tiap bulannya dikoreksi kembali oleh Puun Cikeusik. Hal tersebut antara lain diselaraskan dengan perputaran rasi bentang kidang dan bentang kartika di alam. Maka, pada akhirnya, pada tahun-tahun berikutnya, terjadi lagi suatu kesesuaian, bahwa awal penggarapan ladang senantiasa bertepatan dengan awal musim hujan dan panen padi bertepatan pada akhir musim hujan.

kalender Suku Baduy 

I = Ladang sakral di Baduy Dalam milik bersama (huma serang)

II= Ladang milik pimpinan adat/puun (huma puun)

III= Ladang milik tiap keluarga, masarakat Baduy (huma masyarakat)

IV=upacara-upacara yang menyertai penggarapan ladang

--- akhir daur penggarapan ladang

􀃅 awal tahun baru dari kalender Baduy; tunggul tahun.

Salah satu strategi tersebut antara lain adalah, bahwa secara budaya penduduk Baduy dalam menggarap ladang biasa menanam beraneka ragam varietas padi lokal. Misalnya, penduduk Baduy yang memiliki lahan cukup luas (kira-kira 0,5 ha) diharuskan menanam padi sekurang-kurangnya 5 varietas padi. Hal ini karena sudah menjadi kewajiban secara adat, bahwa 3 varietas padi sakral harus ditanam secara khusus di suatu petak ladang secara terpisah yang tidak boleh bersinggungan satu sama lain. Yaitu pare koneng harus ditanam di tengahtengah ladang (di daerah pungpuhan, daerah yang paling disakralkan di ladang); pare siang ditanaman di bagian timur, dan ketan langgasari ditanam di bagian barat. Sedangkan, 2 varietas padi non sakral lain atau pun lebih, harus ditanam di ladang tersebut untuk mencegah, terjadinya persinggungan antar varietas padi sakral.

Akibat kebiasaan itu, maka pada setiap tahunnya puluhan varietas padi lokal (Oryza sativa) ditanam penduduk Baduy di berbagai petak ladang, di berbagai daerah di Baduy Dalam dan Baduy Luar. Menurut hasil sensus di lapangan, paling tidak telah diidentifikasi sebanyak 89 varietas padi lokal (landraces) di Baduy Dalam dan Baduy Luar. Kebiasaan tradisional tersebut memberi berbagai keuntungan, antara lain bahwa tiap varietas padi lokal tersebut dapat ditanam pada berbagai kondisi ekologi lokal lingkungan Baduy, serta didukung oleh pengetahuan lokal penduduk Baduy yang sangat mendalam. Variasi ekologi tersebut, antara lain keragaman ketinggian tempat, jenis dan kesuburan tanah, kandungan air, kelembaban, dan lamanya menyinaran matahari. Sehingga berbagai keuntungan ekologi dapat diperoleh. Misalnya, apabila terjadi kegagalan panen dari suatu varietas padi di suatu petak ladang di daerah tertentu akibat kekeringan, kegagalan panen padi di petak ladang lain atau di daerah lainnya, mungkin masih dapat dihindari.

Baca: Baduy, Islam, dan Slam Sunda Wiwitan

Selanjutnya, apabila terjadi suatu kegagalan panen padi ladang, bagi keluarga-keluarga yang mengalami kegagalan panen padi, untuk tanam padi musim berikutnya biasanya mereka dapat minjam benih padi dari keluarga lain yang tidak gagal panen dari kampung yang sama atau kampung lain, bahkan dari desa lain. Setelah panen, benih padi itu akan dikembalikan pada si pemberi pinjaman, dengan varietas yang sama atau pun beda, tergantung perjanjian di antara mereka. Namun, jumlahnya harus sama dengan yang mereka pinjam.

Strategi lainnya, secara budaya penduduk Baduy juga biasa menanam aneka ragam tumbuhan non-padi dicampur dengan padi di lahan-lahan ladang mereka. Misalnya, aneka ragam tumbuhan non-padi tersebut, berfungsi sebagai tambahan pangan pokok, sayur, bumbu masak, buah-buahan, bahan obat-obatan, kayu bakar dan bangunan. Sehingga, apabila terjadi kegagalan panen dari tanaman padi, misalnya akibat kekeringan. Maka, penduduk Baduy masih dapat memanen hasil jenis-jenis non-padi.

Strategi penting lainnya adalah bahwa secara adat, padi ladang dilarang diperdagangkan oleh penduduk Baduy, tetapi jenis-jenis tumbuhan non-padi diperkenankan untuk diperdagangkan. Padi tabu diperdagangkan dan padi ladang dianggap sakral karena penduduk Baduy percaya pada dewi padi, Nyi Pohaci.

Baca: Wanita dalam Kehidupan Suku Baduy dan Hubungannya dengan Nyi Pohaci

Sehubungan dengan ini, hasil padi ladang utama hanya digunakan untuk keperluan upacara adat tahunan, seperti kawalu, ngalaksa, dan seba. Selain itu, padi ladang juga digunakan bagi kepentingan konsumsi pada saat mengerjakan berbagai tahapan mengerjakan ladang, seperti membuka hutan pada persiapan ladang (nuar), tanam padi (ngaseuk), menyiangi ladang (ngored), dan panen padi (dibuat).

Disamping itu, padi ladang hanya dikonsumsi sehari-hari dalam rumah tangga, terutama apabila tidak cukup uang untuk membeli padi sawah dari warung-warung tetangga desa mereka. Sedangkan apabila cukup uang, padi ladang hanya digunakan untuk upacara adat, dan sisanya biasanya disimpan di lumbung-lumbung padi tradisional hingga puluhan tahun dan dapat diwariskan pada keturunannya.

Baca: Padi Ratusan Tahun di Leuit, Bukti Ketahanan Suku Baduy Terbaik

Berbeda dengan padi ladang yang tabu dijual, produksi jenis-jenis tumbuhan non-padi dari ladang biasa diperdagangkan untuk memperoleh uang tunai, guna membeli berbagai keperluan rumah tangga, seperti beras sawah, garam, ikan asin, terasi, minyak goreng, minyak tanah, dan lain-lain. Beberapa jenis tumbuhan non-padi yang umum diperdagangkan penduduk Baduy adalah:

  • cau/pisang (Musa paradisiaca)
  • kadu/durian (Durio zibethinus)
  • peuteuy/petai (Parkia speciosa)
  • rinu/sebangsa lada (Piper cubeba)
  • kelapa (Cocos nucifera), dan
  • gula aren(Arenga pinnata) khusus untuk Baduy Luar

Baca: Madu Palsu dan Baduy

Bahkan pada perkembangan terakhir, penduduk Baduy Luar telah melakukan introduksi tanaman komersil baru, seperti albasiah (Paraseriathes fallcataria). Karena tumbuhan tersebut memberikan keuntungan ekonomi dan ekologi. Misalnya, kayunya berguna untuk kayu bakar dan laku dijual. Disamping itu, tumbuhan tersebut dapat membantu menyuburkan tanah ladang.

Selain itu, untuk mendapat uang tunai, sebagian penduduk Baduy juga melakukan diversifikasi usaha. Misalnya, mereka selain berladang, juga bekerja sebagai buruh di Baduy Luar dan di tetangga desa Baduy. Selain itu, mereka juga terlibat dalam usaha perdagang sekala kecil. Misalnya, menjual hasil kerajinan rumah tangga, dan aneka ragam makanan, minuman dan rokok dengan membuka warung-warung kecil di Baduy Luar.

Baca: Kenali Baduy Sebelum Berkunjung Ke Sana


Source: (pdfdrive.com)

Dikutip langsung dari: Mengkaji Kearifan Ekologi Komunitas Baduy dalam Menghadapi Kekeringan (Johan Iskandar: Staf Pengajar Jurusan Biologi-FMIPA Unpad dan Peneliti Pusat Penelitian Sumber Daya Alam dan Lingkungan (PPSDAL)-Lemlit Unpad)

Post a Comment

0 Comments